Hukum Menggambar Dalam Islam


[Hadits‐hadits tentang masalah menggambar dalam Islam telah kami bawakan sebagiannya di
sini, silakan dibaca terlebih dahulu. Dan karena banyaknya pembagian yang akan kami sebutkan
nantinya, maka butuh kami ingatkan kepada pembaca sekalian agar memperhatikan betul
setiap bagian dan harus pandai memisahkan antara pembagian yang satu dengan yang lainnya
agar tidak timbul kesalahpahaman dalam memahami apa yang kami tulis]
Sebelum kita mulai pembahasan mengenai hukum gambar bernyawa, maka terlebih dahulu kita
harus mengetahui sebab diharamkannya gambar bernyawa dalam syariat Islam.
Maka kami katakan:
Ada dua perkara yang menjadi sebab diharamkannya gambar bernyawa:
1. Karena dia disembah selain Allah.
Ini berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu anha dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda tentang gambar‐gambar yang ada di gereja Habasyah:
إِنَّ أُولَئِكَ إِذَا كَانَ فِيھِمْ الرَّجُلُ الصَّالِحُ فَمَاتَ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلكَ الصُّوَرَ فَأُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ للهَّ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
“Mereka (ahli kitab), jika ada seorang yang saleh di antara mereka meninggal, mereka
membangun masjid di atas kuburnya dan mereka menggambar gambar‐gambar itu padanya.
Merekalah makhluk yang paling jelek di sisi Allah pada hari kiamat.” (HR. Al‐Bukhari no. 427
dan Muslim no. 528)
Juga berdasarkan hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi
wasallam bahwa beliau bersabda:
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ للهَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ
“Sesungguhnya manusia yang paling keras siksaannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah
para penggambar.” (HR. Al‐Bukhari no. 5950 dan Muslim no. 2109)
Dan sudah menjadi kesepakatan para ulama bahwa dosa yang siksaannya paling besar adalah
kesyirikan.
Al‐Khaththabi berkata, “Tidaklah hukuman bagi (pembuat) gambar (bernyawa) itu sangat besar
kecuali karena dia disembah selain Allah, dan juga karena melihatnya bisa menimbulkan fitnah,
dan membuat sebagian jiwa cendrung kepadanya.” Al‐Fath (10/471)
2. Dia diagungkan dan dimuliakan baik dengan dipasang atau digantung, karena
mengagungkan gambar merupakan sarana kepada kesyirikan.
Asy‐Syaikh Ibnu Al‐Utsaimin berkata dalam Al‐Qaul Al‐Mufid (3/213), “Alasan disebutkannya
kuburan bersama dengan gambar adalah karena keduanya bisa menjadi sarana menuju
kesyirikan. Karena asal kesyirikan pada kaum Nuh adalah tatkala mereka menggambar gambar
orang‐orang saleh, dan setelah berlalu masa yang lama merekapun menyembahnya.”
Dalam fatwa Al‐Lajnah Ad‐Daimah (1/455) disebutkan, “Karena gambar bisa menjadi sarana
menuju kesyirikan, seperti pada gambar para pembesar dan orang‐orang saleh. Atau bisa juga
menjadi sarana terbukanya pintu‐pintu fitnah, seperti pada gambar‐gambar wanita cantik,
pemain film lelaki dan wanita, dan wanita‐wanita yang berpakaian tapi telanjang.”


Tambahan:
Sebagian ulama menambahkan illat (sebab) pengharaman yang lain yaitu karena gambar
bernyawa menyerupai makhluk ciptaan Allah. Mereka berdalil dengan hadits Aisyah:
إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُشَبِّھُونَ بِخَلْقِ للهَّ “Sesungguhnya manusia yang paling berat siksaannya pada hari kiamat adalah mereka yang
menyerupakan makhluk Allah.” (HR. Al‐Bukhari no. 5954 dan Muslim no. 5525 dan ini adalah
lafazhnya)
Hanya saja sebagian ulama lainnya menolak illat ini dengan beberapa alasan:
1. Makhluk‐makhluk Allah sangat banyak, seandainya sebab larangan menggambar adalah
karena menyerupai ciptaan Allah, maka keharusannya dilarang juga untuk menggambar
matahari, langit, pegunungan, dan seterusnya, karena mereka semua ini adalah makhluk Allah.
Padahal para ulama telah sepakat akan bolehnya menggambar gambar‐gambar di atas.
2. Dalil‐dalil telah menetapkan dikecualikannya mainan anak‐anak dari larangan gambar
bernyawa, dan tidak diragukan bahwa mainan anak‐anak juga mempunyai kemiripan dengan
makhluk ciptaan Allah. Tapi bersamaan dengan itu Nabi shallallahu alaihi wasallam mengizinkan
Aisyah untuk bermain boneka.
3. Dalil‐dalil juga mengecualikan bolehnya menggunakan gambar‐gambar bernyawa jika dia
tidak dipasang atau digantung atau dengan kata lain dia direndahkan dan dihinakan. Ini
berdasarkan hadits Aisyah yang akan datang, dimana Nabi shallallahu alaihi wasallam
mengizinkan Aisyah membuat bantal dari kain yang bergambar, padahal gambar tersebut
menyerupai ciptaan Allah.
4. Ketiga alasan di atas menghantarkan kita kepada alasan yang keempat yaitu tidak
mungkinnya kita memahami hadits Aisyah di atas dengan pemahaman bahwa alasan
diharamkannya gambar hanya karena dia menyerupai ciptaan Allah semata. Akan tetapi kita
harus memahaminya dengan makna ‘penyerupaan’ yang lebih khusus, yaitu menyerupakan
Allah dengan makhluk yang dia gambar tersebut. Ini bisa kita lihat dari kalimat: يُشَبِّھُونَ بِخَلْقِ للهَّ Hal
itu karena orang‐orang Arab tidak pernah mengikutkan huruf ‘ba’ pada maf’ulun bihi (objek).
Akan tetapi mereka hanya menggunakan susunan kalimat seperti ini jika pada kalimat tersebut
terdapat maf’ulun bih baik disebutkan seperti pada kalimat: كسرْتُ بالزجاجةِ رأسَه (aku
memecahkan kepalanya dengan kaca) maupun jika dia dihilangkan seperti pada hadits Aisyah di
atas: يُشَبِّھُونَ بِخَلْقِ للهَّ , dimana kalimat lengkapnya (taqdirnya) ‐wallahu a’lam‐ adalah: الذين يشبھون لله
بخلق لله (mereka yang menyerupakan Allah dengan makhluk Allah) yakni dia juga menyerahkan
ibadah kepada gambar tersebut sebagaimana dia beribadah kepada Allah, atau dengan kata
lain dia berbuat kesyirikan kepada Allah bersama gambar‐gambar tersebut.
Makna inilah yang ditunjukkan dalam hadits‐hadits ada seperti hadits Ibnu Mas’ud yang
tersebut pada illat pertama di atas, dimana penggambar disifati sebagai manusia yang paling
keras siksaannya. Dan sudah dimaklumi bahwa manusia yang paling keras siksaannya adalah
kaum kafir dan orang‐orang musyrik.
Juga hadits Aisyah radhiallahu anha dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda
tentang gambar‐gambar yang ada di gereja Habasyah:
إِنَّ أُولَئِكَ إِذَا كَانَ فِيھِمْ الرَّجُلُ الصَّالِحُ فَمَاتَ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلكَ الصُّوَرَ فَأُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ للهَّ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
“Mereka (ahli kitab), jika ada seorang yang saleh di antara mereka meninggal, mereka
membangun masjid di atas kuburnya dan mereka menggambar gambar‐gambar itu padanya.


Merekalah makhluk yang paling jelek di sisi Allah pada hari kiamat.” (HR. Al‐Bukhari no. 427
dan Muslim no. 528)
Dan tentunya manusia yang paling jelek adalah orang‐orang kafir dan musyrik.
Juga hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Saya mendengar Nabi shallallahu alaihi
wasallam bersabda:
قَالَ للهُ عَزَّ وَجَلَّ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَھَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِي فَلْيَخْلُقُوا بَعُوضَة أَوْ لِيَخْلُقُوا ذَرَّة “Allah Azza wa Jalla berfirman, “Siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang berkehendak
mencipta seperti ciptaan‐Ku. Kenapa mereka tidak menciptakan lalat atau kenapa mereka tidak
menciptakan semut kecil (jika mereka memang mampu)?!” (HR. Al‐Bukhari no. 5953, Muslim
no. 2111, Ahmad, dan ini adalah lafazhnya)
Maksud hendak mencipta seperti ciptaan‐Ku adalah: Bermaksud menandingi sifat penciptaan
Allah, dan ini jelas merupakan kesyirikan dalam rububiah, karenanya dia dikatakan sebagai
makhluk yang paling zhalim karena kesyirikan adalah kezhaliman yang paling besar. Adapun
bermaksud menyerupai makhluk tanpa bermaksud menyerupai sifat penciptaan, maka hal itu
tidak termasuk dalam hadits ini.
Kesimpulannya: Illat (sebab) diharamkannya gambar hanya terbatas pada dua perkara yang
disebutkan pertama. Adapun karena menyerupai ciptaan Allah, maka tidak ada dalil tegas yang
menunjukkan dia merupakan sebab terlarangnya menggambar, wallahu a’lam.
Setelah kita memahami sebab dilarangnya menggambar, maka berikut kami bawakan secara
ringkas hukum menggambar dalam Islam, maka kami katakan:
Gambar terbagi menjadi 2:
1. Yang mempunyai roh. Ini terbagi lagi menjadi dua:
a. Yang 3 dimensi. Ini terbagi menjadi dua:
Pertama: Gambar satu tubuh penuh.
Jika bahan pembuatnya tahan lama ‐seperti kayu atau batu atau yang semacamnya‐, maka
hampir seluruh ulama menyatakan haramnya secara mutlak, baik ditujukan untuk disembah
maupun untuk selainnya. Sementara dinukil dari Abu Said Al‐Ashthakhri Asy‐Syafi’i bahwa dia
berpendapat: Gambar 3 dimensi hanya haram dibuat jika ditujukan untuk ibadah. Akan tetapi
itu adalah pendapat yang lemah.
Adapun yang bahan bakunya tidak tahan lama, misalnya dibuat dari bahan yang bisa dimakan
lalu dibentuk menjadi gambar makhluk, seperti coklat, roti, permen, dan seterusnya. Yang
benar dalam masalah ini adalah jika dia dibuat untuk dipasang atau digantung maka itu
diharamkan. Akan tetapi jika dia dibuat untuk dimakan atau dijadikan mainan anak maka tidak
mengapa karena itu adalah bentuk menghinakannya, dan akan diterangkan bahwa mainan
anak‐anak dikecualikan dari hukum ini.
Kemudian, di sini ada silang pendapat mengenai mainan anak‐anak, apakah diperbolehkan atau
tidak. Ada dua pendapat di kalangan ulama:
Pertama: Boleh. Ini adalah mazhab Abu Hanifah, Malik, Asy‐Syafi’i, dan yang diamalkan oleh
kebanyakan ulama belakangan dari mazhab Ahmad. Dan inilah pendapat yang lebih tepat.
Mereka berdalil dengan hadits dari Aisyah radhiallahu ‘anha dia berkata:
كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى للهَّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ لِي صَوَاحِبُ يَلْعَبْنَ مَعِي فَكَانَ رَسُولُ للهَّ صَلَّى للهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ
يَتَقَمَّعْنَ مِنْه فَيُسَرِّبُھُنَّ إِلَيَّ فَيَلْعَبْنَ مَعِي

“Aku pernah bermain dengan (boneka) anak‐anak perempuan di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, dan aku mempunyai teman‐teman yang biasa bermain denganku. Apabila Rasulullah
shallaallahu’alaihi wa sallam masuk, mereka bersembunyi dari beliau. Sehingga beliau
memanggil mereka supaya bermain bersamaku.” (HR. Al‐Bukhari no. 5665 dan Muslim no.
4470)
Pendapat kedua: Tetap tidak diperbolehkan. Ini adalah Mazhab Ahmad dan pendapat dari
sekelompok ulama Malikiah dan Syafi’iyah. Pendapat ini juga dinukil dari Ibnu Baththal, Ad‐
Daudi, Al‐Baihaqi, Al‐Hulaimi, dan Al‐Mundziri.
Catatan:
Perbedaan pendapat mengenai mainan anak 3 dimensi yang dinukil dari para ulama salaf hanya
berkenaan dengan mainan yang dibuat dari benang wol, kain, dan semacamnya. Adapun
mainan yang terbuat dari plastik ‐seperti pada zaman ini‐, maka para ulama belakangan juga
berbeda pendapat tentangnya:
1. Diharamkan. Yang dikenal berpendapat dengan pendapat ini adalah Asy‐Syaikh Muhammad
bin Ibrahim rahimahullah.
2. Boleh, dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama di zaman ini, dan inilah insya Allah
pendapat yang lebih tepat.
Kedua: Jika gambarnya hanya berupa sebagian tubuh. Ini juga terbagi dua:
1. Yang tidak ada adalah kepalanya. Hukumnya adalah boleh karena dia tidak lagi dianggap
gambar makhluk bernyawa. Ini adalah pendapat seluruh ulama kecuali Al‐Qurthubi dari mazhab
Al‐Maliki dan Al‐Mutawalli dari mazhab Asy‐Syafi’i, dan keduanya terbantahkan dengan ijma’
ulama yang sudah ada sebelum keduanya.
2. Yang tidak ada adalah selain kepalanya, dan ini juga ada dua bentuk:
a. Jika yang tidak ada itu tidaklah membuat manusia mati, misalnya gambarnya seluruh tubuh
kecuali kedua tangan dan kaki. Karena manusia yang tidak mempunyai tangan dan kaki tetap
masih bisa hidup. Hukum bentuk seperti ini sama seperti hukum gambar satu tubuh penuh
yaitu tetap dilarang.
b. Jika yang tidak ada itu membuat manusia mati, misalnya gambar setengah badan. Karena
manusia yang terbelah hingga dadanya tidak akan bisa bertahan hidup. Maka gambar seperti ini
boleh karena diikutkan hukumnya kepada gambar makhluk yang tidak bernyawa. Ini
merupakan mazhab Imam Empat.
b. Yang 2 dimensi. Yang dua dimensi terbagi lagi menjadi 2:
Pertama: Yang dibuat dengan tangan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung
seperti menggambar melalui komputer tapi tetap dengan tangan (misalnya dengan memegang
mouse) . Ini terbagi juga menjadi dua:
1. Gambarnya tidak bergerak, maka ini juga ada dua bentuk:
• Gambar satu tubuh penuh. Ada dua pendapat besar di kalangan ulama mengenai
hukumnya:
a. Haram secara mutlak. Ini adalah riwayat yang paling shahih dari Imam Ahmad, salah satu
dari dua sisi dalam mazhab Abu Hanifah, dan sisi yang paling shahih dalam mazhab Asy‐Syafi’i.
b. Haram kecuali yang dibuat untuk direndahkan dan dihinakan atau yang dijadikan mainan
anak. Ini adalah sisi yang lain dalam mazhab Hanabilah dan Asy‐Syafi’iyah, sisi yang paling shahih dalam mazhab Abu Hanifah, dan yang baku dalam mazhab Malik.
Mereka berdalil dengan hadits Aisyah radhiallahu anha berkata: Rasulullah masuk ke rumahku
sementara saya baru saja menutup rumahku dengan tirai yang padanya terdapat gambargambar.
Tatkala beliau melihatnya, maka wajah beliau berubah (marah) lalu menarik menarik
tirai tersebut sampai putus. Lalu beliau bersabda:
إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُشَبِّھُونَ بِخَلْقِ للهَّ “Sesungguhnya manusia yang paling berat siksaannya pada hari kiamat adalah mereka yang
menyerupai penciptaan Allah.” (HR. Al‐Bukhari no. 5954 dan Muslim no. 5525 dan ini adalah
lafazhnya)
Dalam riwayat Muslim:
أَنَّھَا نَصَبَتْ سِتْرًا فِيهِ تَصَاوِيرُ فَدَخَ ل رَسُولُ للهَّ صلى لله عليه وسلم فَنَزَعَه ، قَالَتْ : فَقَطَعْتُه وِسَادَتَيْنِ
“Dia (Aisyah) memasang tirai yang padanya terdapat gambar‐gambar, maka Rasulullah masuk
lalu mencabutnya. Dia berkata, “Maka saya memotong tirai tersebut lalu saya membuat dua
bantal darinya.”
Maka hadits ini dan yang semisalnya menunjukkan bahwa selama gambar tersebut tidak
dipasang dan tidak juga digantung maka dia sudah dikatakan ‘mumtahanah’
(direndahkan/dihinakan).
• Adapun gambar dua dimensi yang tidak satu tubuh penuh (misalnya setengah badan), maka
perincian dan hukumnya sama seperti pada pembahasan gambar 3 dimensi, demikian pula
pendapat yang rajih di dalamnya.
2. Jika gambar dengan tangan ini bergerak, atau yang kita kenal dengan kartun. Yaitu dimana
seseorang menggambar beberapa gambar yang hampir mirip, lalu gambar‐gambar ini
ditampilkan secara cepat sehingga seakan‐akan dia bergerak.
Hukumnya sama seperti gambar yang tidak bergerak di atas, karena hakikatnya dia tidak
bergerak akan tetapi dia hanya seakan‐akan bergerak di mata orang yang melihatnya.
Kedua: Yang dibuat dengan alat, baik gambarnya tidak bergerak seperti foto maupun bergerak
seperti yang ada di televisi.
Ini termasuk masalah kontemporer karena yang seperti ini belum ada bentuknya di zaman para
ulama salaf. Gambar dengan kamera dan semacamnya ini baru muncul pada tahun 1839 M
yang pertama kali diperkenalkan oleh seorang berkebangsaan Inggris yang bernama William
Henry Fox.
Ada dua pendapat di kalangan ulama belakangan berkenaan dengan hal ini:
Pendapat pertama: Diharamkan kecuali yang dibutuhkan dalam keadaan terpaksa, seperti foto
pada KTP, SIM, Paspor, dan semacamnya. Ini adalah pendapat masyaikh: Muhammad bin
Ibrahim, Abdul Aziz bin Baaz, Abdurrazzaq Afifi, Al‐Albani, Muqbil bin Hady, Ahmad An‐Najmi,
Rabi’ bin Hadi, Saleh Al‐Fauzan, dan selainnya rahimahumullah.
Para ulama ini berdalil dengan 5 dalil akan tetapi semuanya tidak jelas menunjukkan haramnya
gambar dengan alat ini.
Pendapat kedua: Boleh karena yang dibuat dengan alat bukanlah merupakan gambar hakiki,
karenanya dia tidak termasuk ke dalam dalil‐dalil yang mengharamkan gambar. Ini adalah
pendapat masyaikh: Muhammad bin Saleh Al‐Utsaimin, Abdul Aziz bin Abdillah Alu Asy‐Syaikh,
Abdul Muhsin Al‐Abbad, dan selainnya rahimahumullah.

Para ulama ini berdalil dengan 3 dalil akan tetapi hakikatnya hanya kembali kepada 1 dalil yaitu
bahwa gambar dengan alat bukanlah gambar hakiki.
Kami sengaja tidak membawakan dalil‐dalil tiap pendapat karena ini hanyalah pembahasan
ringkas dan hanya untuk merinci masalah dalam hal ini. Ala kulli hal, pendapat yang lebih tepat
menurut kami adalah pendapat yang kedua, yaitu yang berpendapat bahwa gambar dengan
alat tidaklah diharamkan pada dasarnya, kecuali jika dia disembah selain Allah atau dia
dipasang atau digantung yang merupakan bentuk pengagungan kepada gambar dan menjadi
wasilah kepada kesyirikan wallahu a’lam.
Pendapat ini kami pandang lebih kuat karena pada dasarnya gambar dengan alat bukanlah
‘shurah’ secara bahasa. Hal itu karena ‘shurah’ (gambar) secara bahasa adalah ‘at‐tasykil’ yang
bermakna membentuk sebuah ‘syakl’ (bentuk) atau ‘at‐tashwir’ yang bermakna menjadikan
sesuatu di atas bentuk atau keadaan tertentu. Jadi ‘shurah’ yang hakiki secara bahasa
mengandung makna memunculkan atau mengadakan zat yang tidak ada sebelumnya. Dan
makna inilah yang ditunjukkan dalam Al‐Qur`an, seperti pada firman‐Nya:
وَصَوَّرَكُمْ فِي الْأَرْحَامِ كَيْفَ يَشَاءُ
“Dan Dia membentuk kalian di dalam rahim sesuai dengan kehendak‐Nya.”
Juga pada firman‐Nya:
فِي أَيِّ صُوْرَةٍ مَا شَاءَ رَكَّبَكَ
“Pada bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia membentuk kalian.”
Sementara gambar fotografi tidaklah mengandung makna ‘shurah’ yang kita sebutkan di atas.
Karena gambar fotografi bukanlah memunculkan suatu zat/bentuk yang tidak ada sebelumnya,
akan tetapi gambar fotografi hanyalah kebalikan dari benda aslinya.
Hal ini bisa kita pahami dengan memahami prinsip kerja kamera yaitu sebagai berikut:
Kamera terdiri dari lensa cembung dan film, jika dia menerima cahaya (dalam hal ini cahaya
berbentuk objek yang dipotret), maka lensa ini akan memfokuskan cahaya tersebut, dimana
hasilnya adalah berupa bayangan yang terbalik yang bisa ditangkap oleh layar. Bayangan ini
terekam dalam film yang sensitif terhadap cahaya.
Untuk membuktikan hal ini, kita bisa mengambil sebuah lensa cembung (lup). Kita hadapkan lup
ini menghadap keluar jendela yang terbuka. Lalu kita letakkan selembar kertas putih di
belakang lup tersebut, maka kita pasti akan melihat sebuah bayangan pemandangan luar
jendela di kertas putih tadi akan tetapi posisinya terbalik.
Setelah kita memahami prinsip kerja kamera, maka kita tidak akan mendapati makna ‘shurah’
di dalamnya. Yang menjadi ‘shurah’ hakiki dalam kasus di atas adalah cahaya (berbentuk benda)
yang datang menuju lensa kamera, sementara cahaya ini yang mengadakan dan
membentuknya adalah Allah Ta’ala, bukan kamera dan bukan pula sang fotografer. Kamera
sendiri hanya membalik bayangan yang datang tersebut dan kamera ini dioperasikan oleh
fotografer.
Sekarang akan muncul pertanyaan: Apakah proses membalik cahaya benda dianggap sebagai
‘shurah’ atau gambar?
Jawabannya: Tidak, dia bukanlah ‘shurah’. Karena ‘shurah’ tidak mungkin ada kecuali ada
‘mushawwir’ (penggambar) dan orang ini harus punya kemampuan menggambar. Sementara
membalik cahaya bisa terjadi walaupun tidak ada mushawwir atau orang yang melakukannya tidak paham menggambar. Misalnya: Seseorang berdiri di depan cermin atau air sehingga
terlihat bayangannya. Maka bayangan ini hanyalah kebalikan dari benda aslinya, orang yang
berdiri tidak melakukan apa‐apa, tidak menyentuh apa‐apa, bahkan mungkin dia adalah orang
yang tidak bisa menggambar sama sekali. Karenanya tidak ada seorangpun yang menamakan
bayangan di cermin sebagai ‘shurah’ (gambar), baik secara bahasa maupun secara urf
(kebiasaan).
Asy‐Syaikh Ibnu Al‐Utsaimin memperumpamakan hal ini seperti memfoto kopi sebuah buku,
karena huruf‐huruf yang ada di dalam hasil foto kopian adalah hasil tulisan pemilik buku, bukan
hasil tulisan orang yang mengoperasikan foto kopi dan bukan bula tulisan dari foto kopi
tersebut.
Demikian penjelasannya secara ringkas, wallahu a’lam bishshawab.
Catatan:
Ketika kita katakan bahwa gambar 2 dimensi dengan alat bukanlah gambar secara hakiki, maka
itu tidaklah mengharuskan bolehnya menggantung foto‐foto karena hal itu bisa menjadi sarana
menuju pengagungan yang berlebihan kepada makhluk yang hal itu merupakan kesyirikan.
2. Yang tidak mempunyai roh. Terbagi menjadi:
a. Yang tumbuh seperti tanaman.
Hukumnya boleh berdasarkan pendapat hampir seluruh ulama.
b. Benda mati. Yang ini terbagi:
1. Yang bisa dibuat oleh manusia.
2. Yang hanya bisa dicipta oleh Allah seperti matahari
Hukum gambar yang tidak mempunyai roh dengan semua bentuknya di atas adalah boleh
berdasarkan dalil‐dalil yang telah kami sebutkan di sini. Karenanya para ulama sepakat akan
bolehnya menggambar makhluk yang tidak bernyawa.
Sebagai catatan terakhir kami katakan:
Di sini kami hanya menyebutkan hukum asal gambar dengan semua bentuknya, kami tidak
berbicara mengenai hukum gambar dari sisi penggunaannya atau berdasarkan apa yang
terdapat dalam gambar tersebut. Karena para ulama sepakat tidak boleh melihat aurat sesama
jenis atau lawan jenis atau aurat yang bukan mahramnya atau melihat perkara haram lainnya,
sebagaimana mereka sepakat tidak bolehnya melihat sesuatu (baik berupa gambar maupun
selainnya) yang menyibukkan dan melalaikan dari ibadah, sebagaimana haramnya
menggantung atau memasang sesuatu dengan tujuan diagungkan, baik dia berupa gambar
maupun bukan. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.
[Sumber bacaan: Mas`alah At‐Tashwir oleh Dr. Abdul Aziz bin Ahmad Al‐Bajadi, Bayan Tadhlil fii
Fatwa Al‐Umrani fii Jawaz At‐Tashwir oleh Asy‐Syaikh Yahya Al‐Hajuri, Tahrim At‐Tashwir oleh
Asy‐Syaikh Hamud bin Abdillah At‐Tuwaijiry, Hukmu At‐Tashwir Al‐Futughrafi oleh Walid bin
Raasyid As‐Saidan, Al‐Ibraz li Aqwal Al‐Ulama` fii Hukmi At‐Tilfazh yang dikumpulkan oleh
Luqman bin Abi Al‐Qasim]




0 comments:

Posting Komentar

Komentar anda akan dihapus jika :
1. SPAM atau meninggalkan komentar mengandung unsur SARA
2. Berkata kasar atau kata-kata negatif lainnya
3. Meninggalkan komentar dengan link hidup
4. Komentar tidak berhubungan dengan tema
5. Jika anda ingin berlangganan "komentar" dari artikel ini, pilih link "Subscribe by email" pada bagian bawah form komentar